Rahasia
Kecil Kesuksesan SMA Santa Ursula
Apakah
pandangan orang-orang mengenai SMA Santa Ursula? Tak jarang saya mendengar
banyaknya penilaian postif yang terucapkan dengan senyum mengembang dan tatapan
sejuta kekaguman. Lalu keegoan saya pun bangkit tak tertahankan, merayapi hati
dan raga, menarik otot-otot bibir saya hingga terangkat maksimum, seperti karet
yang ditegangkan hingga tak mampu lagi mengendur. Sungguh kebanggan luar biasa
ketika seseorang memandangmu berbeda hanya dari sepotong kain bergaris
menyilang membentuk kotak yang mengembang bebas hingga menyentuh betis dan plat
besi kecil yang harganya Rp 15.000,00 tetapi dapat mengalahkan orang-orang yang
membawa tas dengan harga sebuah mobil. Lalu sebenarnya apakah faktor itu?
Faktor yang membuat harga diri seseorang menjadi begitu tinggi saat menyandang
gelar “anak Ursula”? Apakah karena kepintarannya? Kedisiplinannya? Atau sikap
dan tutur kata yang begitu merdu terdengar?
Semua
pertanyaan diatas membuat saya kembali berpikir kepada satu pertayaan. Apakah
murid yang diterima di Santa Ursula dapat berubah seketika menjadi pribadi yang
begitu didambakan? Tidak. Semua pasti ada asalnya. Ada sebuah pepatah yang
sangat bagus untuk menggambarkan situasi ini, “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari”. Artinya citra yang ditunjukkan seorang pengajar tak akan jauh
berbeda dengan citra murid itu sendiri. Kedispilinan dan pengetahuan seorang
murid takkan lepas dari perjuangan gurunya. Atas pemikiran inilah saya meyakini
bahwa salah satu aspek besar yang mebuat SMA Santa Ursula menjadi salah satu
sekolah yang berhasil adalah kualitas guru yang luar biasa.
Seringkali
sebagai murid, saya bersama dengan teman yang lain, kurang menempatkan guru di
posisi yang se-“luar biasa” itu. Kami sering meremehkan dengan membicarakan
mereka dengan hal-hal yang masih dipertanyakan kebenarannya, memprotes dengan
sengit apabila ada ulangan yang begitu sulit, marah diberi tugas yang membuat
mata terjaga jauh lebih lama, dan kesulitan-kesulitan lain yang kami alami
selama bersekolah. Belum lagi guru tata tertib yang layaknya juri kedisplinan
tingkat dunia selalu memerhatikan setiap penampilan muridnya dengan mata
menyala-nyala. Lucu sekali rasanya ketika menghadapi fakta bahwa guru kita yang
seperti itu sebenarnya adalah pahlawan kedua dalam hidup kita setelah orangtua
tentunya.
Sebal
sekali rasanya ketika saya diajar oleh guru yang begitu galak perangainya.
Seperti hanya dia di dunia yang benar. Segala tugas harus dikerjakan dan
dikumpulan sesuai kehendaknya, tak ada toleransi 1 detik pun. Tetapi apakah
kita pernah berpikir mengenai latar belakang mengapa mereka bersikap seperti
itu? Apakah mereka merasa nyaman dan percaya diri dengan menunjukkan sikap
tersebut kepada dunia? Belum lama ini saya mendapat kesempatan untuk mengambil
sedikit ilmu dari sebuah buku kepribadian manusia yang saya baca. Kala itu saat
sedang mengisi waktu luang saya setelah berakhirnya ujian akhir semester, ibu
saya memberikan buku yang luar biasa untuk dapat saya pahami dan terapkan di
usia saya yang rentan mencari jati diri ini. Saat sedang memproses kata demi
kata, entah bagaimana bayangan itu yang terlintas dalam sel-sel saraf otak
saya. Bayangan bahwa setiap orang memiliki karakternya sendiri yang tidak ada
baik ataupun buruk, tidak ada salah ataupun benar. Semua sifat yang ditunjukkan
berasal dari pola pikir dan perasaan yang melebur satu dengan perkataan dan
perbuatan. Simpelnya, karakter yang mereka miliki memiliki latar belakang yang
berbeda-beda.
Ada
guru yang begitu galak dan pemarah, tetapi adapula yang begitu baiknya sehingga
biasa diremehkan murid-muridnya. Berbekal dari ilmu yang bagaikan sebutir nasi
dalam sebuah rice cooker yang saya peroleh disertai dengan kesoktahuan yang
secara alamiah mencoba menganalisis setiap perilaku para guru dengan sudut
pandang yang lain. Mungkin saya tidak akan menuliskan detail analisa tersebut
disini dikarenakan peraturan sekolah yang mengharuskan tema tulisan adalah
mengenai SMA Santa Ursula (sangat disyukuri bahwa pembicara sangat mengerti
untuk mengganti tema penulisan tentang Santa Angela secara halus). Tetapi saya
akan membahas sedikit pengaruh sikap dan tata cara mengajar guru di SMA Santa
Ursula dengan suksesnya sekolah ini, yang telah saya jabarkan pada paragraph
awal.
Berdasarkan
pengamatan sebagai murid, guru-guru yang tergolong “lama” memiliki pola
mengajar yang cenderung sama. Cepat, berkharisma, to the point, dan diakhiri
dengan penjadwalan ulangan. Mereka cenderung menyampaikan materi secara ringkas
namun pasti, dan langsung kepada inti pelajaran tersebut. Ambilah salah satu
contohnya di kelas IPA, yaitu fisika. Pak Heru adalah salah satunya. Beliau
terbiasa memulai bab baru dengan menuliskan judul bab dan rumus-rumus yang
dipakai pada bab itu. Pada beberapa kesempatan beliau meminta kami untuk
membaca pengertiannya pada buku cetak dan langsung membuka halaman latihan
soal. Dibekali dengan rumus itu, kami diajak untuk menyelesaikan beberapa soal
yang dapat dipastikan hanya orang-orang khusus yang dapat menjawab. Karena
merasa soal tersebut sudah bisa dikerjakan, Pak Heru pun memberikan pekerjaan
rumah yang diakhiri dengan pertanyaan apakah ada materi yang tidak dimengerti.
Sudah pastilah tidak ada yang menjawab karena tidak adanya materi yang tertanam
di otak kami. Jadi seperti biasa, kami mengakhirinya pada guru les. Bagi yang
tidak les seperti saya, harus berjuang keras dan berdoa demi mendapatkan
pencerahan untuk setidaknya bisa benar-benar menjawab soal yang dibahas di
kelas tadi siang. Apabila sampai tenggat waktu yang meresahkan belum
mendapatkan ilham, saya mengemis penjelasan kepada teman sukarelawan yang sabar
hatinya dan baik budinya untuk dipotong jam istirahat ataupun bersedia diganggu
malam-malam.
Berbeda
halnya dengan Biologi. Karena jenisnya adalah hafalan, maka Ibu Lusia (dikenal
dengan panggilan BuLus) menyampaikan materi dengan segala kepintarannya dalam
satu moment yang sangat cepat. Guru yang memiliki senyum paling megah sejagat
raya ini menggunakan system tes pada setiap babnya. Kami diberikan waktu
mengerjakan soal soal tersebut berdua yang sadar tak sadar adalah rangkuman
dari bab yang akan kami pelajari itu. Kemudian tes tersebut akan dibahas
bersama dalam kelas diiringi dengan notes tambahan yang berasal dari otak
cerdas beliau (tidak ditemukan pada halaman apapun tetapi pasti keluar saat ujian). Apabila materi sedang sulit, BuLus akan
memberikan 2-3 kali tes yang berbeda. Setelah itu barulah diadakan pengambilan
nilai yang membutuhkan tidak hanya kekuatan ingatan, tetapi juga logika.
Merupakan 2 kombinasi yang sangat pas untuk menggambarkan anak sanur.
Keduanya
memiliki tipikal masing-masing. Tetapi jika dipikir kembali sebenarnya dengan
cara-cara itulah murid dapat berhasil. Buktinya selama bertahun-tahun mereka
menggunakan metode yang sama dan lulusan dari SMA Santa Ursula selalu merupakan
yang terbaik. Sikap cuek dari Pak Heru tidak menjamin bahwa ia benar-benar
tidak tahu bahwa yang mengerti materi itu hanyalah 1-2 anak saja. Bagi saya
sesungguhnya ia tahu, tetapi ia ingin mengajarkan kepada kita untuk mandiri dan
disiplin, mencoba untuk memutar otak sendiri bukan hanya menerima apa yang
diberikan saja. Dengan seperti itu, mau tidak mau para murid melawan
kemalasannya untuk membaca buku di rumah dan memahami materi secara pribadi.
Hal ini sangat berguna di kuliah nanti saya kira, dengan berjuta dosen yang tak
kalah cueknya. Sehingga lulusan Santa Ursula biasanya dapat menyesuaikan diri
dengan cepat dan tidak mengalami kendala yang begitu mengganggu di kehidupan
perkuliahan yang pada umumnya dialami teman-temannya.
Beda
halnya dengan Ibu Lusia. Dengan pola tes tersebut, para murid diajarkan untuk
berpikir kritis dan cepat mengolah informasi. Karena sebenarnya jawaban tes
tersebut ada di buku, namun tidak cukup hanya meng-copy saja, tetapi harus
mengkolaborasikan dengan informasi lain. Secara tak langsung kami dilatih
menjadi pribadi yang menggunakan nalar dalam menarik kesimpulan sehingga tidak
secara mentah menerima saja apa yang orang katakan. Hal ini sangat baik untuk
dipraktekkan dalam kehidupan nyata menurut saya. Saat ini begitu banyak gossip
dan informasi yang beredar, baik fakta maupun opini belaka. Untuk itu, kita
sebaiknya menyaring informasi tersebut sebelum terlanjur menyebarkan dan
menjerumuskan diri sendiri dalam bahaya akibat tuduhan pencemaran nama baik
yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dengan melatih pola pikir dan nalar dalam
menerima suatu informasi, BuLus mengajarkan kepada kami untuk tanggap dan
kritis menghadapi berbagai informasi yang mengglobalisasi.
Selain
kedua contoh diatas, masih begitu banyak nilai kehidupan yang diajarkan baik
secara langsung maupun tak langsung, yang membuat anak Santa Ursula terlihat
“berbeda” dari anak lainnya. Nilai akademis pasti diajarkan oleh semua sekolah,
namun nilai kehidupan? Belum tentu semua sekolah benar-benar peduli akan
perkembangan pribadi anak didiknya hingga sedemikian detailnya. Dengan melihat
sisi inilah saya dapat tersenyum menghadapi kehidupan yang terasa seperti
setengah penjara ini. Menghadapi dan tetap mempertahankan kodrat mereka
setinggi tingginya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menyebalkan tetapi begitu
perhatiannya kepada kami. Begitu sayang sehingga tak ingin melihat kami gagal
menjadi seseorang nantinya. Menjadi sesosok manusia yang lebih dari seonggok
daging tak berarti.
Semoga
tulisan pendek tak teratur dan sok puitis ini dapat mengobati rasa rindu kakak-kakak alumni yang telah memperoleh
kehidupannya di luar sana, yang ingin menceritakan ulang kepada buah hatinya
atas permulaan dari perjalanan hidup yang luar biasa.
Best regards,
Dika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar