Kamis, 29 Oktober 2015

Little Story About My School


Rahasia Kecil Kesuksesan SMA Santa Ursula

Apakah pandangan orang-orang mengenai SMA Santa Ursula? Tak jarang saya mendengar banyaknya penilaian postif yang terucapkan dengan senyum mengembang dan tatapan sejuta kekaguman. Lalu keegoan saya pun bangkit tak tertahankan, merayapi hati dan raga, menarik otot-otot bibir saya hingga terangkat maksimum, seperti karet yang ditegangkan hingga tak mampu lagi mengendur. Sungguh kebanggan luar biasa ketika seseorang memandangmu berbeda hanya dari sepotong kain bergaris menyilang membentuk kotak yang mengembang bebas hingga menyentuh betis dan plat besi kecil yang harganya Rp 15.000,00 tetapi dapat mengalahkan orang-orang yang membawa tas dengan harga sebuah mobil. Lalu sebenarnya apakah faktor itu? Faktor yang membuat harga diri seseorang menjadi begitu tinggi saat menyandang gelar “anak Ursula”? Apakah karena kepintarannya? Kedisiplinannya? Atau sikap dan tutur kata yang begitu merdu terdengar?
Semua pertanyaan diatas membuat saya kembali berpikir kepada satu pertayaan. Apakah murid yang diterima di Santa Ursula dapat berubah seketika menjadi pribadi yang begitu didambakan? Tidak. Semua pasti ada asalnya. Ada sebuah pepatah yang sangat bagus untuk menggambarkan situasi ini, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya citra yang ditunjukkan seorang pengajar tak akan jauh berbeda dengan citra murid itu sendiri. Kedispilinan dan pengetahuan seorang murid takkan lepas dari perjuangan gurunya. Atas pemikiran inilah saya meyakini bahwa salah satu aspek besar yang mebuat SMA Santa Ursula menjadi salah satu sekolah yang berhasil adalah kualitas guru yang luar biasa.
Seringkali sebagai murid, saya bersama dengan teman yang lain, kurang menempatkan guru di posisi yang se-“luar biasa” itu. Kami sering meremehkan dengan membicarakan mereka dengan hal-hal yang masih dipertanyakan kebenarannya, memprotes dengan sengit apabila ada ulangan yang begitu sulit, marah diberi tugas yang membuat mata terjaga jauh lebih lama, dan kesulitan-kesulitan lain yang kami alami selama bersekolah. Belum lagi guru tata tertib yang layaknya juri kedisplinan tingkat dunia selalu memerhatikan setiap penampilan muridnya dengan mata menyala-nyala. Lucu sekali rasanya ketika menghadapi fakta bahwa guru kita yang seperti itu sebenarnya adalah pahlawan kedua dalam hidup kita setelah orangtua tentunya.
Sebal sekali rasanya ketika saya diajar oleh guru yang begitu galak perangainya. Seperti hanya dia di dunia yang benar. Segala tugas harus dikerjakan dan dikumpulan sesuai kehendaknya, tak ada toleransi 1 detik pun. Tetapi apakah kita pernah berpikir mengenai latar belakang mengapa mereka bersikap seperti itu? Apakah mereka merasa nyaman dan percaya diri dengan menunjukkan sikap tersebut kepada dunia? Belum lama ini saya mendapat kesempatan untuk mengambil sedikit ilmu dari sebuah buku kepribadian manusia yang saya baca. Kala itu saat sedang mengisi waktu luang saya setelah berakhirnya ujian akhir semester, ibu saya memberikan buku yang luar biasa untuk dapat saya pahami dan terapkan di usia saya yang rentan mencari jati diri ini. Saat sedang memproses kata demi kata, entah bagaimana bayangan itu yang terlintas dalam sel-sel saraf otak saya. Bayangan bahwa setiap orang memiliki karakternya sendiri yang tidak ada baik ataupun buruk, tidak ada salah ataupun benar. Semua sifat yang ditunjukkan berasal dari pola pikir dan perasaan yang melebur satu dengan perkataan dan perbuatan. Simpelnya, karakter yang mereka miliki memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Ada guru yang begitu galak dan pemarah, tetapi adapula yang begitu baiknya sehingga biasa diremehkan murid-muridnya. Berbekal dari ilmu yang bagaikan sebutir nasi dalam sebuah rice cooker yang saya peroleh disertai dengan kesoktahuan yang secara alamiah mencoba menganalisis setiap perilaku para guru dengan sudut pandang yang lain. Mungkin saya tidak akan menuliskan detail analisa tersebut disini dikarenakan peraturan sekolah yang mengharuskan tema tulisan adalah mengenai SMA Santa Ursula (sangat disyukuri bahwa pembicara sangat mengerti untuk mengganti tema penulisan tentang Santa Angela secara halus). Tetapi saya akan membahas sedikit pengaruh sikap dan tata cara mengajar guru di SMA Santa Ursula dengan suksesnya sekolah ini, yang telah saya jabarkan pada paragraph awal.
Berdasarkan pengamatan sebagai murid, guru-guru yang tergolong “lama” memiliki pola mengajar yang cenderung sama. Cepat, berkharisma, to the point, dan diakhiri dengan penjadwalan ulangan. Mereka cenderung menyampaikan materi secara ringkas namun pasti, dan langsung kepada inti pelajaran tersebut. Ambilah salah satu contohnya di kelas IPA, yaitu fisika. Pak Heru adalah salah satunya. Beliau terbiasa memulai bab baru dengan menuliskan judul bab dan rumus-rumus yang dipakai pada bab itu. Pada beberapa kesempatan beliau meminta kami untuk membaca pengertiannya pada buku cetak dan langsung membuka halaman latihan soal. Dibekali dengan rumus itu, kami diajak untuk menyelesaikan beberapa soal yang dapat dipastikan hanya orang-orang khusus yang dapat menjawab. Karena merasa soal tersebut sudah bisa dikerjakan, Pak Heru pun memberikan pekerjaan rumah yang diakhiri dengan pertanyaan apakah ada materi yang tidak dimengerti. Sudah pastilah tidak ada yang menjawab karena tidak adanya materi yang tertanam di otak kami. Jadi seperti biasa, kami mengakhirinya pada guru les. Bagi yang tidak les seperti saya, harus berjuang keras dan berdoa demi mendapatkan pencerahan untuk setidaknya bisa benar-benar menjawab soal yang dibahas di kelas tadi siang. Apabila sampai tenggat waktu yang meresahkan belum mendapatkan ilham, saya mengemis penjelasan kepada teman sukarelawan yang sabar hatinya dan baik budinya untuk dipotong jam istirahat ataupun bersedia diganggu malam-malam.
Berbeda halnya dengan Biologi. Karena jenisnya adalah hafalan, maka Ibu Lusia (dikenal dengan panggilan BuLus) menyampaikan materi dengan segala kepintarannya dalam satu moment yang sangat cepat. Guru yang memiliki senyum paling megah sejagat raya ini menggunakan system tes pada setiap babnya. Kami diberikan waktu mengerjakan soal soal tersebut berdua yang sadar tak sadar adalah rangkuman dari bab yang akan kami pelajari itu. Kemudian tes tersebut akan dibahas bersama dalam kelas diiringi dengan notes tambahan yang berasal dari otak cerdas beliau (tidak ditemukan pada halaman apapun tetapi pasti keluar saat ujian). Apabila materi sedang sulit, BuLus akan memberikan 2-3 kali tes yang berbeda. Setelah itu barulah diadakan pengambilan nilai yang membutuhkan tidak hanya kekuatan ingatan, tetapi juga logika. Merupakan 2 kombinasi yang sangat pas untuk menggambarkan anak sanur.
Keduanya memiliki tipikal masing-masing. Tetapi jika dipikir kembali sebenarnya dengan cara-cara itulah murid dapat berhasil. Buktinya selama bertahun-tahun mereka menggunakan metode yang sama dan lulusan dari SMA Santa Ursula selalu merupakan yang terbaik. Sikap cuek dari Pak Heru tidak menjamin bahwa ia benar-benar tidak tahu bahwa yang mengerti materi itu hanyalah 1-2 anak saja. Bagi saya sesungguhnya ia tahu, tetapi ia ingin mengajarkan kepada kita untuk mandiri dan disiplin, mencoba untuk memutar otak sendiri bukan hanya menerima apa yang diberikan saja. Dengan seperti itu, mau tidak mau para murid melawan kemalasannya untuk membaca buku di rumah dan memahami materi secara pribadi. Hal ini sangat berguna di kuliah nanti saya kira, dengan berjuta dosen yang tak kalah cueknya. Sehingga lulusan Santa Ursula biasanya dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tidak mengalami kendala yang begitu mengganggu di kehidupan perkuliahan yang pada umumnya dialami teman-temannya.
Beda halnya dengan Ibu Lusia. Dengan pola tes tersebut, para murid diajarkan untuk berpikir kritis dan cepat mengolah informasi. Karena sebenarnya jawaban tes tersebut ada di buku, namun tidak cukup hanya meng-copy saja, tetapi harus mengkolaborasikan dengan informasi lain. Secara tak langsung kami dilatih menjadi pribadi yang menggunakan nalar dalam menarik kesimpulan sehingga tidak secara mentah menerima saja apa yang orang katakan. Hal ini sangat baik untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata menurut saya. Saat ini begitu banyak gossip dan informasi yang beredar, baik fakta maupun opini belaka. Untuk itu, kita sebaiknya menyaring informasi tersebut sebelum terlanjur menyebarkan dan menjerumuskan diri sendiri dalam bahaya akibat tuduhan pencemaran nama baik yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dengan melatih pola pikir dan nalar dalam menerima suatu informasi, BuLus mengajarkan kepada kami untuk tanggap dan kritis menghadapi berbagai informasi yang mengglobalisasi.
Selain kedua contoh diatas, masih begitu banyak nilai kehidupan yang diajarkan baik secara langsung maupun tak langsung, yang membuat anak Santa Ursula terlihat “berbeda” dari anak lainnya. Nilai akademis pasti diajarkan oleh semua sekolah, namun nilai kehidupan? Belum tentu semua sekolah benar-benar peduli akan perkembangan pribadi anak didiknya hingga sedemikian detailnya. Dengan melihat sisi inilah saya dapat tersenyum menghadapi kehidupan yang terasa seperti setengah penjara ini. Menghadapi dan tetap mempertahankan kodrat mereka setinggi tingginya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menyebalkan tetapi begitu perhatiannya kepada kami. Begitu sayang sehingga tak ingin melihat kami gagal menjadi seseorang nantinya. Menjadi sesosok manusia yang lebih dari seonggok daging tak berarti.
Semoga tulisan pendek tak teratur dan sok puitis ini dapat mengobati rasa rindu  kakak-kakak alumni yang telah memperoleh kehidupannya di luar sana, yang ingin menceritakan ulang kepada buah hatinya atas permulaan dari perjalanan hidup yang luar biasa.
Best regards,

Dika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar